Jakarta – Prajurit TNI/Polri sebentar lagi bisa menduduki jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PNS yang biasanya hanya dijabat masyarakat sipil. Aturan soal ini sedang dirancang melalui Peraturan Pemerintah yang membahas manajemen aparatur sipil negara (ASN), atau RPP Manajemen ASN usai Undang-Undang Aparatur Sipil Negara atau UU ASN disahkan pada Selasa, 3 Oktober 2023.
UU ASN yang baru ini dinilai justru mengembalikan ke sistem birokrasi ala Orde Baru, di mana saat itu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terutama TNI memiliki dua kewenangan, yaitu menjaga keamanan dan mengelola pemerintahan.
Baca Juga: Update seputaran otomotif terbaru
“Undang-Undang tersebut secara substansi mengembalikan dwifungsi ABRI yang telah dicabut sebagai tuntutan gerakan reformasi 1998. Gejalanya memang mengarah pada sistem birokrasi Orde Baru,” kata Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Dalam beberapa pasal UU ASN memang membuka peluang warga sipil menjabat dalam struktur TNI-Polri, tetapi itu pasti terkendala UU TNI dan UU Polri yang mengharuskan bahwa jabatan dalam TNI/Polri adalah jabatan karir.
Tapi di sisi lain, anggota TNI/Polri bisa masuk dalam jabatan-jabatan sipil yang tak dibatasi syarat-syarat yang harusnya juga termaktub dalam UU TNI/Polri, misalnya harus alih status lebih dulu dan hanya berlaku bagi personel yang masih aktif atau belum pensiun.
Kunjungi: Tempat destinasi liburan asik bersama keluarga
“Bila personel TNI-Polri tersebut masih belum alih status dampaknya tentu akan sangat rawan dengan konflik kepentingan,” ujarnya.
Dengan begitu, kata Bambang, jika merujuk pada spirit Good Governance & Clean Government jelas akan banyak kekurangan. Sebab pembagian jabatan di pemerintahan lebih pada berbagi kepentingan elit dibanding membangun semangat profesionalisme ASN.
“Dengan kata lain, karir sangat ditentukan pada kedekatan dengan kekuasaan bukan pada meritokrasi yang menjadi dasar membangun birokrasi yang profesional,” ujarnya.
Selain itu, masuknnya Prajurit TNI/Polri ke jabatan ASN juga akan mengurangi pos-pos jabatan karir dì masing-masing instansi untuk diisi para perwira TNI atau Polri yang memiliki kompetensi dan pengalaman berbeda.
“Di sisi personel TNI-Polri juga akan muncul mindset baru, bahwa mereka tak lagi bercita-cita sebagai militer atau polisi yang profesional, tetapi akan lebih membangun kedekatan pada kekuasaan politik untuk mendapat jatah di birokrasi,” tandasnya.
Baca Juga: Review film terbaru
Bayang-Bayang Dwifungsi ABRI
Sementara Kepala Divisi Hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Andi Muhammad Rezaldy menilai sejak awal, UU ASN ini bertentangan dengan agenda reformasi. Sebab pemerintah sedang membuka pintu seluas-luasnya bagi TNI/Polri untuk menempati posisi yang seharusnya ditempati masyarakat sipil.
“Hal ini jelas berbahaya bagi demokrasi karena dapat berpotensi kembali ke bayang-bayang peran dwifungsi ABRI,” kata Andi kepada Liputan6.com di Jakarta.
Lebih baik kata Andi, pemerintah patuh dengan konstitusi di mana TNI dimandatkan hanya untuk mengurusi bidang pertahanan dan kepolisian ditugaskan untuk mengurusi keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan justru urusan sipil.
“Dampaknya tidak hanya bagi demokrasi, ini juga dapat berdamapak bagi ASN non TNI/Polri. Masuknya TNI/Polri ke struktural ASN tentu akan mengganggu jenjang karir ASN tersebut,” ujarnya.
Sementara Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya menilai ditempatkannya anggota TNI/Polri menjadi ASN membuat dua institusi tersebut menjadi lembaga yang jauh dari profesionalitas. Selain itu, tidak ada kedaruratan yang signifikan sehingga mengharuskan ASN berasal dari TNI/Polri.
“Ditempatkannya TNI/Polri hanya akan memperparah situasi di tengah problematika kedua institusi yang masih menumpuk, khususnya berkaitan dengan kultur kekerasan,” kata Dimas.
KontraS pun, kata Dimas, khawatir jika pendekatan keamanan dan pelibatan pasukan akan semakin masif dilakukan seiring dengan pelibatan TNI menjadi ASN di jabatan tertentu. Sebab dalam berbagai kasus-kasus seperti konflik lahan, pertambangan, dan kasus sumber daya alam lainnya, keterlibatan aparat justru seringkali berujung dengan kekerasan dan kriminalisasi sipil.
Selain itu, Pasal 47 ayat (2) UU TNI membatasi jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif. Sehingga ketentuan dalam Pasal 19 UU ASN tumpang tindih dengan peraturan lainnya khususnya yang mengatur soal TNI.
Adapun dalam Pasal 19 ayat (3) UU ASN disebutkan bahwa: Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang- Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Padahal pada UU TNI pasal 47 ayat (1) disebutkan bahwa: Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.”
“Pasal ini mensyaratkan seluruh perwira aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri dari dinas kemiliteran,” kata Dimas.
Sementara dalam UU Polri pasal 28 ayat (3) juga disebutkan bahwa: Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
“Norma tersebut sangat jelas melarang anggota Polri yang statusnya masih aktif untuk mengambil tugas di luar urusan kepolisian. Seorang perwira harus mengundurkan diri terlebih dulu, baru dapat menerima tugas memegang tugas memimpin suatu daerah,” lanjutnya.
Baca Juga: Ramalan angka laut selatan
Anggota TNI/Polri Hanya Untuk Jabatan Tertentu
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB) Abdullah Azwar Anas menyatakan pengisian jabatan ASN dari TNI/Polri hanya dapat dilakukan untuk jabatan tertentu.
“Sekali lagi pengisian jabatan ASN dari TNI dan Polri dapat dilakukan untuk jabatan tertentu pada instansi pusat tertentu,” singkat Azwar, Rabu (13/3/2024).
Azwar memaparkan enam poin syarat pengisian jabatan ASN dari prajurit TNI dan anggota Polri. Pertama, hanya untuk jabatan ASN tertentu pada instansi pusat tertentu.
Kedua, prajurit TNI dan anggota Polri yang menduduki jabatan ASN pada instansi pusat tidak dapat beralih status menjadi ASN. Ketiga, pengisian jabatan ASN khusus bagi prajurit TNI dan anggota Polri yang merupakan talenta terbaik.
Keempat, harus memenuhi kualifikasi pendidikan, kompetensi, kepangkatan, pendidikan, dan pelatihan. Serta rekam jejak, jabatan yang relevan, kesehatan, integritas, dan persyaratan jabatan lain.
“Kelima, pangkat paling kurang setara dengan tingkatan jabatan ASN yang akan diduduki sesuai persetujuan menteri, serta berusia paling tinggi satu tahun sebelum batas usia pensiun TNI-Polri. Terakhir, dilakukan melalui mekanisme manajemen talenta apabila terdapat kebutuhan,” pungkas Azwar.
Dalam UU ASN sendiri disebutkan bahwa anggota TNI/Polri hanya bisa menduduki jabatan non manajerial.
Diketahui, dalam Bab V RUU ASN, disebutkan bahwa terdapat dua jenis jabatan ASN, yaitu jabatan manajerial dan non manajerial. Khusus bagi anggota TNI dan Polri dapat mengisi jabatan non manajerial.
Jabatan-jabatan manajerial terdiri atas jabatan pimpinan tinggi utama, madya, pratama, administrator, dan pengawas. Sementara jabatan non manajerial terdiri atas jabatan fungsional dan jabatan pelaksana.
Dalam Pasal 19 ayat 3 UU ASN disebutkan bahwa: Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kemudian pada Pasal 19 Ayat 4 UU ASN, personel Polri bisa mengisi posisi di 11 kementerian dan lembaga di instansi pusat yang mencakup:
- Koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian di bidang politik dan keamanan negara
- Sekretariat militer Presiden
- Intelijen negara
- Sandi negara
- Ketahanan nasional
- Pencarian dan pertolongan nasional
- Penanggulangan narkotika nasional
- Penanggulangan bencana nasional
- Penanggulangan terorisme
- Pemberantasan korupsi
- Keamanan laut
Sementara, TNI dapat mengisi setidaknya 14 kementerian atau lembaga di instansi pusat, yakni:
- Koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian di bidang politik dan keamanan negara
- Pertahanan negara
- Sekretariat militer Presiden
- Intelijen negara
- Sandi negara
- Ketahanan nasional
- Pertahanan nasional
- Pencarian dan pertolongan nasional
- Penanggulangan narkotika nasional
- Penanggulangan bencana nasional
- Penanggulangan terorisme
- Peradilan militer
- Penuntutan tindak pidana militer
- Keamanan laut
Pengisian jabatan ASN dari prajurit TNI dan anggota Polri tetap dilakukan secara terbatas dan selektif. Pengisian jabatan ASN dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan berdasarkan permohonan penugasan dari instansi pusat. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian jabatan ASN dari prajurit TNI dan Polri diatur dalam peraturan pemerintah.
Jangan Buka Kotak Pandora
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak poin terkait TNI/Porli bisa masuk ASN. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera pun menyinggung soal reformasi di tubuh TNI.
“Untuk TNI Polri karena reformasi kan sudah menggarisbawahi bahwa wajib ada kanal sendiri, tidak ada lagi dwifungsi, tapi masing-masing profesionalitas maka PKS menganggap TNI-Polri dan sipil dikelola dengan dua manajemen yang berbeda,” kata Mardani di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (13/3/2024).
Meski akan ada aturan untuk mempersulit migrasi TNI/Polri menjadi ASN, Mardani mengingatkan agar pemerintah tidak membuka kotak pandora ala Orba.
“Pak Menteri sudah mengatakan akan dipersulit migrasi dari TNI-Polri ke ASN, perlu ada persyarakat khusus, tapi lebih baik jangan buka kotak pandora, sebaiknya TNI-Polri full urus TNI-Polri,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menyatakan, sebenarnya tak ada perbedaan aturan terkait TNI/Polri menjadi ASN.
“Sebenarnya kalau dalam perubahan UU yang baru ini, UU Nomor 20 Tahun 2023 ini, terkait masalah TNI-Polri itu tidak ada bedanya dengan UU No 5 Tahun 2014 itu. Jadi sebenarnya tidak ada yang berubah, jadi boleh TNI-Polri bisa masuk ke lingkungan ASN dengan batas-batas tertentu,” kata Doli.
Doli menyebut tidak semua posisi ASN bisa diisi TNI/Polri. Ia mengklaim ada batasan-batasan sehingga tidak semua TNI/Polri bisa menjadi ASN.
“Hanya pada level tertentu, jadi enggak semua. Jadi pada hanya pada eselon I dan pemerintah pusat,jadi gak boleh di semua lingkungan apalagi di pemda, jadi memang ada batas-batas tertentu,” kata dia.
“Karena apa? Karena memang ada di posisi-posisi di ASN yang memang memerlukan posisi bapak-ibu dari TNI-Polri, misalnya di lingkungan KemenkumHAM, Kemenhan, jadi memang ada institusi atau kementerian yang memang bisa membutuhkan fungsi mereka,” Doli memungkasi.
Buka Peluang ASN Sipil Bisa Jadi Wakapolri?
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Abdullah Azwar Anas menyebut aturan soal ASN ini bersifat resiprokal atau timbal balik. Serta akan dilakukan seleksi ketat serta disesuaikan dengan kebutuhan instansi dengan mekanisme manajemen talenta.
“Kita akan mendapatkan talenta terbaik dari TNI/Polri dan mereka pun dapatkan ASN terbaik,” kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Abdullah Azwar Anas dalam keterangan tertulis, Selasa (12/3/2024).
Dalam beberapa pasal UU ASN memang membuka peluang warga sipil menjabat dalam struktur TNI-Polri, tetapi itu pasti terkendala UU TNI dan UU Polri yang mengharuskan bahwa jabatan dalam TNI/Polri adalah jabatan karir.
Tapi di sisi lain, anggota TNI/Polri bisa masuk dalam jabatan-jabatan sipil yang tak dibatasi syarat-syarat yang harusnya juga termaktub dalam UU TNI/Polri, misalnya harus alih status lebih dulu dan hanya berlaku bagi personel yang masih aktif atau belum pensiun.
“Bila personel TNI-Polri tersebut masih belum alih status dampaknya tentu akan sangat rawan dengan konflik kepentingan,” ujarnya.
Dengan begitu, kata Bambang, jika merujuk pada spirit Good Governance & Clean Government jelas akan banyak kekurangan. Sebab pembagian jabatan di pemerintahan lebih pada berbagi kepentingan elit dibanding membangun semangat profesionalisme ASN.
“Dengan kata lain, karir sangat ditentukan pada kedekatan dengan kekuasaan bukan pada meritokrasi yang menjadi dasar membangun birokrasi yang profesional,” ujarnya.
Selain itu, masuknnya Prajurit TNI/Polri ke jabatan ASN juga akan mengurangi pos-pos jabatan karir dì masing-masing instansi untuk diisi para perwira TNI atau Polri yang memiliki kompetensi dan pengalaman berbeda.
“Di sisi personel TNI-Polri juga akan muncul mindset baru, bahwa mereka tak lagi bercita-cita sebagai militer atau polisi yang profesional, tetapi akan lebih membangun kedekatan pada kekuasaan politik untuk mendapat jatah di birokrasi,” tandasnya.
Bayang-Bayang Dwifungsi ABRI
Sementara Kepala Divisi Hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Andi Muhammad Rezaldy menilai sejak awal, UU ASN ini bertentangan dengan agenda reformasi. Sebab pemerintah sedang membuka pintu seluas-luasnya bagi TNI/Polri untuk menempati posisi yang seharusnya ditempati masyarakat sipil.
“Hal ini jelas berbahaya bagi demokrasi karena dapat berpotensi kembali ke bayang-bayang peran dwifungsi ABRI,” kata Andi kepada Liputan6.com di Jakarta.
Lebih baik kata Andi, pemerintah patuh dengan konstitusi di mana TNI dimandatkan hanya untuk mengurusi bidang pertahanan dan kepolisian ditugaskan untuk mengurusi keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan justru urusan sipil.
“Dampaknya tidak hanya bagi demokrasi, ini juga dapat berdamapak bagi ASN non TNI/Polri. Masuknya TNI/Polri ke struktural ASN tentu akan mengganggu jenjang karir ASN tersebut,” ujarnya.
Sementara Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya menilai ditempatkannya anggota TNI/Polri menjadi ASN membuat dua institusi tersebut menjadi lembaga yang jauh dari profesionalitas. Selain itu, tidak ada kedaruratan yang signifikan sehingga mengharuskan ASN berasal dari TNI/Polri.
“Ditempatkannya TNI/Polri hanya akan memperparah situasi di tengah problematika kedua institusi yang masih menumpuk, khususnya berkaitan dengan kultur kekerasan,” kata Dimas.
KontraS pun, kata Dimas, khawatir jika pendekatan keamanan dan pelibatan pasukan akan semakin masif dilakukan seiring dengan pelibatan TNI menjadi ASN di jabatan tertentu. Sebab dalam berbagai kasus-kasus seperti konflik lahan, pertambangan, dan kasus sumber daya alam lainnya, keterlibatan aparat justru seringkali berujung dengan kekerasan dan kriminalisasi sipil.
Selain itu, Pasal 47 ayat (2) UU TNI membatasi jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif. Sehingga ketentuan dalam Pasal 19 UU ASN tumpang tindih dengan peraturan lainnya khususnya yang mengatur soal TNI.
Adapun dalam Pasal 19 ayat (3) UU ASN disebutkan bahwa: Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang- Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Padahal pada UU TNI pasal 47 ayat (1) disebutkan bahwa: Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.”
“Pasal ini mensyaratkan seluruh perwira aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri dari dinas kemiliteran,” kata Dimas.
Sementara dalam UU Polri pasal 28 ayat (3) juga disebutkan bahwa: Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
“Norma tersebut sangat jelas melarang anggota Polri yang statusnya masih aktif untuk mengambil tugas di luar urusan kepolisian. Seorang perwira harus mengundurkan diri terlebih dulu, baru dapat menerima tugas memegang tugas memimpin suatu daerah,” lanjutnya.
Anggota TNI/Polri Hanya Untuk Jabatan Tertentu
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB) Abdullah Azwar Anas menyatakan pengisian jabatan ASN dari TNI/Polri hanya dapat dilakukan untuk jabatan tertentu.
“Sekali lagi pengisian jabatan ASN dari TNI dan Polri dapat dilakukan untuk jabatan tertentu pada instansi pusat tertentu,” singkat Azwar, Rabu (13/3/2024).
Azwar memaparkan enam poin syarat pengisian jabatan ASN dari prajurit TNI dan anggota Polri. Pertama, hanya untuk jabatan ASN tertentu pada instansi pusat tertentu.
Advertisement
Kedua, prajurit TNI dan anggota Polri yang menduduki jabatan ASN pada instansi pusat tidak dapat beralih status menjadi ASN. Ketiga, pengisian jabatan ASN khusus bagi prajurit TNI dan anggota Polri yang merupakan talenta terbaik.
Keempat, harus memenuhi kualifikasi pendidikan, kompetensi, kepangkatan, pendidikan, dan pelatihan. Serta rekam jejak, jabatan yang relevan, kesehatan, integritas, dan persyaratan jabatan lain.
“Kelima, pangkat paling kurang setara dengan tingkatan jabatan ASN yang akan diduduki sesuai persetujuan menteri, serta berusia paling tinggi satu tahun sebelum batas usia pensiun TNI-Polri. Terakhir, dilakukan melalui mekanisme manajemen talenta apabila terdapat kebutuhan,” pungkas Azwar.
Dalam UU ASN sendiri disebutkan bahwa anggota TNI/Polri hanya bisa menduduki jabatan non manajerial.
Diketahui, dalam Bab V RUU ASN, disebutkan bahwa terdapat dua jenis jabatan ASN, yaitu jabatan manajerial dan non manajerial. Khusus bagi anggota TNI dan Polri dapat mengisi jabatan non manajerial.
Jabatan-jabatan manajerial terdiri atas jabatan pimpinan tinggi utama, madya, pratama, administrator, dan pengawas. Sementara jabatan non manajerial terdiri atas jabatan fungsional dan jabatan pelaksana.
Dalam Pasal 19 ayat 3 UU ASN disebutkan bahwa: Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kemudian pada Pasal 19 Ayat 4 UU ASN, personel Polri bisa mengisi posisi di 11 kementerian dan lembaga di instansi pusat yang mencakup:
- Koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian di bidang politik dan keamanan negara
- Sekretariat militer Presiden
- Intelijen negara
- Sandi negara
- Ketahanan nasional
- Pencarian dan pertolongan nasional
- Penanggulangan narkotika nasional
- Penanggulangan bencana nasional
- Penanggulangan terorisme
- Pemberantasan korupsi
- Keamanan laut
Sementara, TNI dapat mengisi setidaknya 14 kementerian atau lembaga di instansi pusat, yakni:
- Koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian di bidang politik dan keamanan negara
- Pertahanan negara
- Sekretariat militer Presiden
- Intelijen negara
- Sandi negara
- Ketahanan nasional
- Pertahanan nasional
- Pencarian dan pertolongan nasional
- Penanggulangan narkotika nasional
- Penanggulangan bencana nasional
- Penanggulangan terorisme
- Peradilan militer
- Penuntutan tindak pidana militer
- Keamanan laut
Pengisian jabatan ASN dari prajurit TNI dan anggota Polri tetap dilakukan secara terbatas dan selektif. Pengisian jabatan ASN dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan berdasarkan permohonan penugasan dari instansi pusat. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian jabatan ASN dari prajurit TNI dan Polri diatur dalam peraturan pemerintah.
Jangan Buka Kotak Pandora
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak poin terkait TNI/Porli bisa masuk ASN. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera pun menyinggung soal reformasi di tubuh TNI.
“Untuk TNI Polri karena reformasi kan sudah menggarisbawahi bahwa wajib ada kanal sendiri, tidak ada lagi dwifungsi, tapi masing-masing profesionalitas maka PKS menganggap TNI-Polri dan sipil dikelola dengan dua manajemen yang berbeda,” kata Mardani di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (13/3/2024).
Meski akan ada aturan untuk mempersulit migrasi TNI/Polri menjadi ASN, Mardani mengingatkan agar pemerintah tidak membuka kotak pandora ala Orba.
Advertisement
“Pak Menteri sudah mengatakan akan dipersulit migrasi dari TNI-Polri ke ASN, perlu ada persyarakat khusus, tapi lebih baik jangan buka kotak pandora, sebaiknya TNI-Polri full urus TNI-Polri,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menyatakan, sebenarnya tak ada perbedaan aturan terkait TNI/Polri menjadi ASN.
“Sebenarnya kalau dalam perubahan UU yang baru ini, UU Nomor 20 Tahun 2023 ini, terkait masalah TNI-Polri itu tidak ada bedanya dengan UU No 5 Tahun 2014 itu. Jadi sebenarnya tidak ada yang berubah, jadi boleh TNI-Polri bisa masuk ke lingkungan ASN dengan batas-batas tertentu,” kata Doli.
Doli menyebut tidak semua posisi ASN bisa diisi TNI/Polri. Ia mengklaim ada batasan-batasan sehingga tidak semua TNI/Polri bisa menjadi ASN.
“Hanya pada level tertentu, jadi enggak semua. Jadi pada hanya pada eselon I dan pemerintah pusat,jadi gak boleh di semua lingkungan apalagi di pemda, jadi memang ada batas-batas tertentu,” kata dia.
“Karena apa? Karena memang ada di posisi-posisi di ASN yang memang memerlukan posisi bapak-ibu dari TNI-Polri, misalnya di lingkungan KemenkumHAM, Kemenhan, jadi memang ada institusi atau kementerian yang memang bisa membutuhkan fungsi mereka,” Doli memungkasi.
Advertisement
Buka Peluang ASN Sipil Bisa Jadi Wakapolri?
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Abdullah Azwar Anas menyebut aturan soal ASN ini bersifat resiprokal atau timbal balik. Serta akan dilakukan seleksi ketat serta disesuaikan dengan kebutuhan instansi dengan mekanisme manajemen talenta.
“Kita akan mendapatkan talenta terbaik dari TNI/Polri dan mereka pun dapatkan ASN terbaik,” kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Abdullah Azwar Anas dalam keterangan tertulis, Selasa (12/3/2024).
Dengan begitu, kata Anas, dengan UU ASN yang baru tak menutup kemungkinan ASN bisa menduduki posisi direktur di Mabes Polri atau TNI, bahkan punya kesempatan menjabat sebagai Wakapolri.
Advertisement
“Misalnya direktur digital di Mabes Polri atau jangan-jangan ke depan ada Wakapolri yang membidangi pelayanan masyarakat,” ucap Anas.
Sebab menurut Anas, UU ASN saat ini menerapkan konsep resiprokal ASN dengan TNI dan Polri. Dengan konsep resiprokal ini, ASN bisa menduduki jabatan di institusi TNI-Polri.
“Soal konsep resiprokal dengan TNI-Polri, selama ini teman-teman TNI bisa menduduki jabatan di ASN, tetapi ASN tidak bisa menduduki jabatan di TNI-Polri,” ujar Anas.
Anas menjelaskan, penerapan ASN bisa mengisi jabatan tertentu sesuai dengan kebutuhan masing-masing institusi TNI dan Polri.
“Sangat mungkin, ini telah dibuka. Ini sesuai keperluan institusi yang dimaksud. Bisa TNI, bisa Polri,” ujarnya.
Aturan yang ditargetkan terbit pada akhir April 2024 ini diharapkan bisa implementatif dan bisa merangkul talenta terbaik untuk jadi bagian dari reformasi birokrasi dan pelaksanaan pembangunan nasional.
“RPP ini harus bisa transformatif dan tentunya implementatif di lapangan sebagaimana arahan Bapak Presiden. Setelah 100 persen aspek terpenuhi, targetnya 30 April 2024 sudah ditetapkan,” imbuhnya.
Total ada 22 bab yang terdiri dari 305 pasal dalam RPP Manajemen ASN. Substansi yang dibahas diantaranya terkait pengembangan kompetensi, perencanaan kebutuhan, pengadaan ASN seperti lewat seleksi CPNS dan PPPK, digitalisasi, hingga hak dan kewajiban ASN.
Related Keyword: