
Nyanyian Arwah di Hutan Rimba
Langit Kalimantan menghampar biru, menyulam sinar mentari ke dalam serat dedaunan. Hutan-hutan raksasa mendengungkan desah angin yang menyusup di sela pepohonan. Aroma getah damar merambat di udara, bercampur anyir sungai yang mengalir seperti urat nadi bumi. Namun, di balik keheningan itu, tersembunyi kegelisahan yang mengakar.
Ia bernama Langkai. Nama yang berbisik di antara dahan-dahan kering dan dihembus angin malam seperti kutukan. Lelaki dengan wajah serupa bayangan, tubuh tegap berlapis luka, sepasang mata yang berkilat seperti mata harimau kelaparan. Langkai bukan sekadar manusia, ia badai yang turun di perkampungan suku Dayak, merampas, mencuri, merusak, dan lebih mengerikan, memperlakukan perempuan dengan sewenang-wenang. Hanya suara teriakan nyaring malam-malam yang menjadi saksi kebiadabannya.
Namun, di antara riuh ketakutan, ada seorang asing yang mencintai tanah ini lebih dari sekadar tamu. Namanya Rajendra. Bukan darah Dayak mengalir dalam tubuhnya, tapi ia menari dalam irama hidup mereka. Ia menganyam rotan, menumbuk padi, menyelam ke sungai, dan lebih dari semua itu, hatinya tertaut pada seorang gadis Dayak bernama Kirana, perempuan dengan mata seindah kilau permata sungai Mahakam.
Kirana tak hanya cantik, tapi jiwanya tenang seperti embun pagi. Ia mencintai hutan sebagaimana ia mencintai hidup. Namun, bayang-bayang Langkai menghantui desanya. Perempuan-perempuan lain telah jatuh dalam genggaman sang jagal, dan kini Kirana menjadi yang berikutnya. Langkai telah menginginkannya.
Aku memang bukan siapa-siapa. Tapi aku tidak akan membiarkanmu mencemari tanah ini lebih lama.
Malam itu, bulan mengambang setengah di langit, berpendar di antara pepohonan yang saling berbisik. Kirana melangkah hati-hati di atas tanah basah menuju sungai, membawa tempayan besar di pundaknya. Air mengalir tenang, namun jantungnya berdetak tak keruan. Seperti ada mata yang mengintai dari balik semak-semak. Lalu terdengar suara. Serak, dalam, mengandung ancaman.
”Kirana.…”
Langkai berdiri di sana, tegap dan kelam, seperti bayangan yang keluar dari mimpi buruk. Tangan kasarnya terulur, matanya menyala seperti api. Kirana mundur, tubuhnya gemetar. Namun, sebelum lelaki itu sempat mendekat, sebilah tombak melesat cepat, menghujam tanah di antara mereka.