
Kisah Nyata!! Malam di Rumah Tua di Ujung Jalan
Malam itu hujan turun deras, petir menyambar langit yang gelap pekat. Ardi, seorang mahasiswa yang baru saja pindah ke kota kecil untuk kuliah, memutuskan menempati sebuah rumah kontrakan tua di ujung jalan. Rumah itu murah sekali sewanya, jauh lebih rendah dibanding kontrakan lain di sekitar kampus. Pemilik rumah hanya berpesan singkat:
“Kalau malam jangan pernah buka pintu kalau ada yang mengetuk. Ingat baik-baik, jangan pernah.”
Ardi menganggapnya aneh, tapi ia tidak terlalu memikirkan. Baginya, yang penting rumah itu cukup nyaman untuk ditempati, meski cat dinding sudah mengelupas dan halaman dipenuhi rumput liar.
Malam Pertama: Ketukan di Pintu
Sekitar pukul 12 malam, ketika Ardi sedang asyik menonton film di laptop, terdengar tok… tok… tok…. Suara ketukan itu datang dari pintu depan. Ardi terdiam. Pesan pemilik rumah langsung teringat di kepalanya.
Ia menahan napas, menunggu apakah ketukan itu berhenti. Tapi justru semakin keras.
TOK! TOK! TOK!
Rasanya jantung Ardi mau copot. Ia mencoba memberanikan diri mengintip dari jendela. Namun, anehnya, tidak ada siapa pun di depan pintu. Gelap, hanya cahaya lampu jalan yang remang.
Ia memutuskan untuk mengabaikannya. Memasang earphone, menyalakan musik, lalu mencoba tidur. Tetapi sepanjang malam, ketukan itu terdengar sesekali. Kadang pelan, kadang keras, membuat Ardi berkeringat dingin di balik selimut.
Malam Kedua: Bisikan dari Dalam
Esoknya, Ardi mencoba bertanya ke tetangga sebelah, seorang ibu paruh baya. Begitu Ardi menyebut soal ketukan pintu, wajah ibu itu langsung berubah pucat.
“Kamu dengar juga?” bisiknya. “Dulu, sebelum kamu, ada penghuni yang kabur hanya setelah seminggu tinggal. Katanya ada yang mengetuk setiap malam. Hati-hati, Nak…”
Ardi merinding. Tapi ia berusaha menenangkan diri. “Mungkin cuma anak-anak iseng,” pikirnya.
Malam kedua, lagi-lagi hujan turun. Sekitar pukul 1 dini hari, Ardi terbangun. Kali ini bukan ketukan yang ia dengar, melainkan bisikan. Suara samar dari ruang tamu.
“Bukaaa… bukaaa pintunya…”
Ardi membeku. Tubuhnya gemetar. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanya halusinasi. Tapi suara itu semakin jelas, semakin dekat.
“Bukaaa… aku dingin… tolong bukaaa…”
Dengan tangan bergetar, Ardi menutup telinganya dengan bantal. Sampai akhirnya ia tertidur dengan rasa takut yang luar biasa.
Malam Ketiga: Sosok di Jendela
Hari ketiga, suasana rumah semakin terasa berat. Udara di dalam seperti lebih dingin dari luar. Lampu sering berkedip tanpa alasan. Kadang Ardi merasa ada bayangan bergerak di sudut mata, tapi begitu menoleh, tidak ada apa-apa.
Malam itu, ketika ia sedang menulis tugas, terdengar suara kaca diketuk dari arah jendela. Perlahan, dengan rasa takut, ia menoleh.
Di balik jendela, ada sosok perempuan berambut panjang, wajah pucat, dengan mata hitam kosong menatap lurus padanya.
Ardi terlonjak dan hampir menjatuhkan laptopnya. Sosok itu tidak bergerak, hanya menempelkan wajahnya di kaca. Lalu terdengar suara lirih:
“Buka… pintunya…”
Ardi langsung berlari ke kamar, menutup pintu, dan menyalakan lampu. Ia duduk di pojokan, keringat dingin bercucuran, berharap semua ini hanya mimpi.
Malam Keempat: Rahasia Rumah Itu
Tak tahan lagi, keesokan harinya Ardi mendatangi kembali ibu tetangga. Kali ini ia memaksa bertanya lebih jauh. Setelah beberapa kali ragu, sang ibu akhirnya menceritakan.
“Rumah itu dulunya milik seorang perempuan muda. Dia tinggal sendiri setelah ditinggal suaminya merantau. Suatu malam, ada yang mengetuk pintu rumahnya. Entah siapa, tapi sejak itu dia menghilang. Orang-orang bilang, rohnya masih menunggu di depan pintu, meminta orang membukakan. Tapi siapa pun yang membuka… tidak pernah kembali.”
Ardi merinding mendengarnya. Tapi ia juga penasaran—apakah benar itu hanya cerita lama atau memang nyata?
Malam Kelima: Ketukan Terakhir
Malam kelima adalah malam yang tidak akan pernah dilupakan Ardi. Hujan deras, petir menyambar, dan listrik sempat mati beberapa kali. Tepat pukul 12 malam, suara ketukan kembali terdengar.
TOK… TOK… TOK…
Namun kali ini, disertai suara tangisan lirih.
“Tolong… aku kedinginan… jangan biarkan aku di luar…”
Air mata Ardi hampir jatuh, bukan karena kasihan, tapi karena rasa takut yang tak tertahankan. Suara itu terdengar begitu nyata, begitu dekat.
Ardi menutup telinga, berusaha bertahan. Tapi tiba-tiba pintu kamar bergetar, seakan ada yang mencoba membukanya dari luar.
Dengan panik, Ardi memeluk Al-Qur’an kecil yang ada di mejanya, membaca doa seadanya, dan berusaha tidak pingsan.
Ketukan, tangisan, dan suara-suara itu terus berlangsung hampir setengah jam. Hingga akhirnya hening.
Keesokan Paginya
Saat fajar tiba, Ardi memberanikan diri keluar kamar. Semua tampak normal, hanya pintu depan terbuka sedikit, padahal semalam ia yakin sudah menguncinya rapat.
Di depan pintu, ada bekas jejak kaki basah—tapi anehnya, bentuknya bukan kaki manusia biasa. Jemarinya lebih panjang, seperti cakar. Jejak itu berhenti tepat di ambang pintu, seolah sesuatu memang berusaha masuk, tapi tidak berhasil.
Hari itu juga, Ardi memutuskan pindah. Ia tidak peduli harus tidur di kos kecil yang jauh lebih mahal. Baginya, nyawa jauh lebih berharga.
Sejak saat itu, rumah tua di ujung jalan kembali kosong. Namun, setiap kali malam tiba, warga sekitar mengaku masih sering mendengar ketukan pelan di pintu rumah itu.
Kisah horor ini mengingatkan kita bahwa tidak semua tempat yang murah dan terlihat sepi bisa ditempati dengan mudah. Ada cerita, ada sejarah, ada misteri yang tersimpan. Kadang, yang terlihat hanya rumah tua biasa, ternyata menyimpan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
Dan jika suatu saat kau mendengar ketukan di tengah malam… berhati-hatilah. Jangan buru-buru membukanya.
Website Terkait :
https://associationgueulesdamour.com/
https://activefeedupdates.com/
https://compensationcanada.com/
https://aschoolofcompassion.com/
https://bellinghambaptist.com/
https://hamptonroadseventrentals.com/
https://mahaskacustombows.com/