Jakarta – Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Harvey Moeis yang merupakan perwakilan dari PT Refined Bangka Tin merugikan negara sebesar Rp300 triliun atas perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015-2022.
Hal itu diungkapkan Jaksa dalam sidang perdana Harvey Moeis di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2024).
“Yang merugikan keuangan negara sebesar Rp300.003.263.938.131,14 berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah Di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022 Nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024 Tanggal 28 Mei 2024 dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI),” kata jaksa membacakan surat dakwaannya.
Dalam dakwaan Harvey, jaksa menyatakan bersama-sama dengan Direktur Utama Refined Bangka Tin, Suparta meminta pembayaran kepada tiga perusahaan sebagai biaya pengamanan sebesar 500 USD sampai dengan 750 USD per ton.
“Yang seolah-olah dicatat sebagai Coorporate Social Responsibility (CSR) yang dikelola oleh Terdakwa HARVEY MOEIS atas nama PT Refined Bangka Tin,” ucap Jaksa.
Harvey sendiri yang menginisiasi untuk mengadakan kerjasama sewa alat procesing untuk penglogaman timah smelter swasta yang tidak memiliki Competent Person (CP) antara lain CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Inter Nusa dengan PT Timah, Tbk.
Peran Harvey Moeis
Bahkan dia berperan melakukan kepanjangan 5 perusahaan tersebut kepada PT Timah Tbk.
“Melakukan negosiasi dengan PT Timah Tbk terkait dengan sewa menyewa smelter swasta hingga menyepakati harga sewa smelter tanpa didahului study kelayakan (Feasibility Study) atau kajian yang memadai/mendalam,” jelas Jaksa.
Setelah kesepakatan dengan PT Timah Tbk, kelima perusahaan itu bisa menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah. Dengan diterbitkannya surat tersebut kelima perusahaan tersebut bisa melegalkan pembelian biji timah oleh pihak smelter swasta yang berasal dari penambangan ilegal di IUP PT Timah, Tbk.
Atas dasar itu, mereka didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jadi Penampung Uang Hasil Korupsi Timah
Di sisi lain, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkapkan Harvey jadi penampung untuk pembayaran sewa peralatan timah oleh lima perusahaan tambang. Dalam modusnya Harvey meminta agar uang yang ditransfer ke dirinya dengan menggunakan mata uang asing.
Hal terungkap dalam dakwaan Harvey yang dibacakan oleh JPU di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2024).
Mulanya Jaksa mengungkapkan adanya penggelembungan harga dalam penyewaan peralatan processing penglogaman timah yang mencapai Rp2,2 Triliun dari Rp738 miliar. Penyepakatan harga itu juga salah satunya diikuti oleh Harvey.
Atas kesepakatan tersebut, sebanyak 5 perusahaan boneka yang terafiliasi dengan PT Timah Tbk, mendapatkan crude tin 63 juta Kilogram bijih timah ilegal. Pun biji timah yang didapatkan tersebut berasal dari kolektor ilegal yang pada akhirnya dibeli lagi oleh PT Timah Tbk.
Kelima perusahaan tersebut yakni PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Refined Bangka Tin, dan PT Sariwiguna Binasentosa.
“Dari perusahaan-perusahaan boneka milik 5 smelter yang mendapat SPK dari PT Timah, Tbk untuk melakukan pembelian dari penambang-penambang illegal (perorangan) dalam wilayah IUP PT Timah, Tbk. selanjutnya crude tin sebanyak 63.160.827,42 Kg dibeli oleh PT Timah, Tbk sebesar Rp11.128.036.025.519,00,” ungkap Jaksa dalam nota dakwaannya yang dibacakan, Rabu (14/8).