Bogor – Pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah merealisasikan anggaran untuk menangani perubahan iklim mencapai Rp569 triliun pada periode 2016-2022. Rata-rata pengeluaran belanja untuk memitigasi perubahan iklim setiap tahunnya mencapai Rp81,3 triliun atau 3,5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Angka Indonesia 3,5 persen itu sudah cukup bagus dibanding negara lain yang masih 2 persen atau di bawahnya. Jadi, ini sudah cukup bagus untuk pemerintah Indonesia dalam menangani program iklim,” kata Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Boby Wahyu Hernawan di Bogor dalam acara Media Gathering ‘Peran Kemenkeu dalam Mendukung Penanganan Perubahan Iklim’, Rabu (29/5).
Boby merinci, 58,4 persen dari total anggaran perubahan iklim 2016-2022 atau Rp332,84 triliun digunakan untuk program mitigasi, meliputi penurunan emisi gas rumah kaca melalui beberapa sektor seperti industri hijau, pengelolaan limbah, energi, dan transportasi.
Sebanyak Rp214,2 triliun dipakai untuk penurunan kerentanan, peningkatan kapasitas adaptif, dan pengurangan kerugian ekonomi melalui peningkatan kualitas air dan sektor kesehatan. Kemudian anggaran Rp22,4 triliun digunakan untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi secara bersamaan di sektor kehutanan pertanian, kelautan, dan pesisir.
Boby menerangkan, kebutuhan pendanaan untuk aksi mitigasi tahun 2018-2030 sebesar Rp4.002,44 triliun atau rata-rata Rp307,88 triliun per tahun. Namun, total pendanaan yang dianggarkan APBN tahun 2018-2022 hanya sebesar Rp217,83 triliun atau rata-rata Rp43,57 triliun per tahun.
“Sehingga APBN sejauh ini baru dapat memenuhi sekitar 14 persen dari kebutuhan pendanaan aksi mitigasi setiap tahunnya,” dia menjelaskan.
Berapa Porsi Anggaran di Daerah?
Boby menyampaikan, ada 22 pemerintah daerah di tingkat provinsi/kabupaten/kota yang telah mengimplementasikan climate budget tagging dalam periode 2020-2023 untuk mendukung aksi perubahan iklim.
Pemerintah daerah yang sudah mengimplementasikan penandaan anggaran perubahan iklim yaitu Provinsi Aceh, Provinsi Riau, Kota Pekanbaru, Kabupaten Siak, Provinsi Jambi, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Sumedang, dan Kota Cirebon.
Kemudian Provinsi DI Yogyakarta, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Jawa Timur, Kota Surabaya, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Bali, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Papua.
“Kalau dari sisi pemerintah daerah, berdasarkan pilot project, rata-rata porsi anggarannya adalah sebesar 5,38 persen dari APBD-nya. Ini berdasarkan daerah yang sudah kita lakukan pilot project, masih terbatas (22 pemerintah daerah). Jadi belum bisa dibawa ke level nasional,” ujar Boby.
Boby menerangkan, beberapa daerah telah memiliki anggaran perubahan iklim yang cukup signifikan, di antaranya Kota Surabaya sebesar 19,53 persen dan Provinsi DKI Jakarta 12,74 persen dari APBD.
“Namun, secara nominal, DKI Jakarta memiliki anggaran perubahan iklim yang terbesar, dengan rata-rata per tahun sebesar Rp76,16 miliar,” ucap dia.